Franzie
Aku baru saja menelpon sahabat terbaikku, Masie. Suaranya terdengar berbeda. Terdengar lebih melengking dan merdu. Ia sekolah di Harvard sekarang. Menjadi murid baru di universitas ternama yang dulunya ingin aku masuki. Benar-benar hebat ia bisa masuk ke universitas itu. Aku bangga padanya. Sayang, pembicaraan kami singkat sekali. Hanya sekitar sepuluh menit. Aku harus pergi ke pesta ulang tahun Frankie, adik laki-laki pacarku, Joe. Sudah lama sekali aku tidak melihat Frankie sejak aku masuk Princeton. Universitas yang cukup bagus di New Jersey. Aku masuk kuliah lebih dulu dari sahabat-sahabatku yang lain. Aku langsung masuk kuliah setelah lulus SMA, sedangkan Masie dan Lesya menunggu sampai umur mereka 18 tahun dan baru masuk kuliah. Jenny tidak kuliah karena ia ingin menekuni karirnya di bidang modeling. Sangat disayangkan memang, namun aku akan selalu mendukung apa pun yang dilakukan sahabatku kalau hal itu adalah hal yang terbaik bagi mereka.
Aku terkenal kutu buku ---- sampai sekarangpun di Princeton aku tetap dinobatkan sebagai si kutu buku ----- karena aku memang gemar membaca. Hampir setiap hari aku membaca buku dan buku yang kubaca selalu berbeda. Aku mencintai dunia ini. Dan aku merasa mereka juga mencintaiku. Konyol memang, namun aku selalu merasa begitu. Pacarku Joe sangat berbeda denganku. Ia memiliki pergaulan yang luas, modis (walaupun ia laki-laki, namun ia tidak metroseksual), dan tampan. Aku tidak seperti dirinya. Aku jauh dari pergaulan, temanku sedikit, aku seperti orang kuno karena baju yang kukenakan seperti orang konyol ditambah dengan kacamata bulat yang aku kenakan. Aku tidak cantik dan aku tidak tinggi seperti Masie dan Jenny. Aku masih heran kenapa Joe mau berpacaran denganku. Apa karena aku ini pintar, apa karena aku tergolong orang berada atau karena apa? Joe mulai mengubahku saat aku lulus SMA. Ia mulai memintaku mengganti kacamata bulatku dengan kacamata beberbentuh kotak yang modis dan mengganti model bajuku. Aku masih belum terbiasa dengan model yang diberikannya saat itu. Joe tak pernah memaksaku untuk benar-benar berubah. Namun aku juga ingin berubah. Maka kuikuti semua model yang diusulkannya. Aku membeli kacamata kotak yang bening, mulai memakai baju-baju yang sedikit terbuka dan berani memakai miniskirt. Rambutku sudah mulai sering kugerai karena sebelumnya aku selalu mengepangnya seperti orang Jepang. Ia senang dengan perubahanku. Aku juga senang walaupun masih belum terbiasa, namun inilah keputusanku. Aku harus menerimanya.
Sekarang ---- walaupun masih tetap dijuluki kutu buku ---- aku sudah jarang dijuluki dengan nama itu. Nama kutu buku yang melekat sejak SD. Sekarang banyak orang yang meminta nasihatku tentang fashion. Aku heran, apa mereka bercanda? Aku bukan master fashion, tapi mereka tetap saja menanyakan pertanyaan-pertanyaan seputar fashion. Mungkin karena sekarang aku modis.
Kembali lagi ke pesta ulang tahun Frankie. Aku membantu orangtua Joe mendekorasi rumahnya yang bernuansa putih dan besar itu. Menghiasinya dengan balon warna-warni yang sangat disukai anak-anak seusia frankie. Menggantung lampu warna-warni yang berkelap-kelip seperti lampu natal. Memasang kertas-kertas perak yang berbentuk gelombang di sisi atas tembok rumahnya dekat langit-langit. Menghiasi kado dari ayah dan ibunya dengan kertas berkelip warna merah dan pita ungu yang halus. Joe mencium keningku saat aku berdiri setelah menghias kado itu.
”Oh, Joe...”
”I love you babe.. ” katanya dan mencium bibirku.
”Oh.. I love you, too...” kataku membalas kata-katanya setelah kami berciuman cukup lama.
”Joe, Franzie, ayo turun, pestanya sudah mau mulai” ayah Joe memanggil kami.
”Okay, Dad” Joe menjawab. ”Uh.. ayah mengganggu saja”
“Tak apa Joe, kita sudah sering melakukan ini, ayo turun” kataku mengedipkan mata.
Pesta ulang tahun Frankie sangat meriah. Banyak teman-teman sekolahnya datang. Kado berlapis kertas warna-warni bertumpuk di sudut ruangan. Frankie berada di depan kue ulang tahunnya yang berbentuk bulat dan ada angka 8 di tengahnya. Ia sedang bernyanyi bahagia dengan ayah dan ibunya. Joe berada di belakangnya membantunya saat sesi tiup lilin dan potong kue. Aku berada di sudut ruangan memandangi keluarga bahagia itu. Aku iri pada mereka. Keluarga mereka begitu hangat dan harmonis. Mereka tertawa bahagia melihat anaknya bersenang-senang di pesta yang sudah mereka rangkai sedemikian rupa. Sedangkan keluargaku? Hancur berantakan seperti piring pecah ---- kau tahu kan piring pecah? Kau akan berteriak bila piring itu jatuh dan kau akan menangis bila piring yang jatuh dan berantakan itu berharga lebih dari 1 juta dollar----. Ayahku selingkuh dan akhirnya bercerai dengan ibuku untuk menikahi wanita sialan yang telah menggodanya. Ibuku lari ke minuman keras saat ayahku meninggalkannya. Ia merokok dan hampir menjadi wanita penjaga club di malam hari. Sudah 6 bulan kejadian ini berlangsung dan tak ada satupun yang mengetahui latar belakang keluargaku tak terkecuali, Joe dan keluarganya. Aku sangat mencintai mereka sampai-sampai karena cintaku yang begitu besar aku tak mau melukai hati tulus mereka dengan masalah yang kacau balau itu. Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk menyimpan rahasia memalukan ini dalam-dalam. Sungguh, aku malu dengan keadaan keluargaku. Kakaku, Lyon sama sekali tak membantu. Ia sibuk dengan urusannya sendiri. Ia memang membuat bangga keluarga. Ia berprestasi, berwawasan luas, dan sering memenangkan lomba semasa SMA dulu. Namun semua itu semakin mempertebal lapisan luar keluargaku yang terlihat sempurna. Kini ia bekerja di perusahaan broadcast ternama di Amerika. Meninggalkanku dan ibuku yang kacau di New Jersey ini. Untung saja ada Joe dan keluarganya yang juga tinggal di New Jersey. Mereka sering berkunjung ke apartemen kami sambil membawa makanan dan beberapa kebutuhan kami. Sebenarnya aku tak suka dengan ini. Terlalu merepotkan mereka. Namun mereka selalu berkata ”Tak ada yang merepotkan untuk orang yang dikasihi Joe”. Sungguh keluarga yang luar biasa. Pernah suatu kali mereka membawa 3 tas berbahan kertas penuh dengan peralatan dapur, makanan ringan, dan beberapa peralatan mandi. Aku sungguh tak percaya mereka membeli semua itu untukku. Dan percaya atau tidak semua itu barang mahal. Sungguh. Aku bertanya-tanya bernarkah mereka membeli semua itu dengan uang? Apakah itu semua untukku? Apa mereka minta balasan padaku atas semua yang mereka lakukan? Namun semua pertanyaan itu tak terjawab dengan pasti. Tak ada tanda yang berarti dari keluarga Grey itu. Ya, aku dengan kata lain, aku hanya menerimanya saja tanpa tau apa maksud sebenarnya.